Wednesday, November 26, 2008

Mari Belajar

"Life is once. Let's make it as meaningful as we can"

Sebuah falsafah hidup yg begitu menarik untuk ditelaah dan diresapi. Ungkapan tersebut seolah-olah menekankan bahwa hidup berlangsung hanya sekali dan tidak akan pernah terulang dan diulang. Kesempatan sekali meniscayakan adanya sebuah harapan baik sekaligus kehati-hatian dan tanggunjawab. Meski kapasitas dan proses yang akan berlangsung memiliki keunikan dan tahapan khas masing-masing sehingga menafikkan absolusitas klaim bentuk oleh siapapun.

Membuat hidup berarti dan bermakna memiliki berbagai kemungkinan interpretasi dan sekaligus orientasi. Tergantung pada cara pandang hidup masing-masing individu dalam melihat apa, kenapa, dan bagaimana akan hidup yang sedang dijalani. Jelasnya bukan berbicara pada cara pandang mana yang lebih layak untuk dijadikan acuan dalam mewarnai kehidupan yg ada. Namun lebih kepada sebuah keyakinan pribadi yang bersifat amat individual akan sebuah keberartian dan kebermaknaan.

'Berarti' dapat merujuk kepada sebuah cita-cita yang telah lama tertanam, kepada harapan orang lain yang memiliki kedekatan hubungan batin maupun lahir, bahkan boleh ja di merujuk pada sebuah pengalaman pahit masa lalu yang takterlupakan. Unsur nilai dari "berarti'' baik hitam maupun putih, atau klasifikasi lain, sekali lagi menjadi konsumsi pribadi individu yang merupakan entitas makhluk rasional yang memiliki otoritas memilih (free will). Singkat kata, ''keberartian' dari sebuah kehidupan lebih ditekankan pada keselarasan antara batin (keyakinan), pikiran, dan komitmen dalam berbuat dan bertindak.

Merupakan sebuah kenaifan ketika otoritas ''keberartian'' tersebut tidak layak diklaim oleh siapapun dan bagaimanapun, muncul sebuah sikap acuh (ignorance) dan malas (laziness) dalam menjalani hidup dari waktu ke waktu. Mengapa? Karena sikap acuh merupakan refleksi dari rasa tidak membutuhkan, tidak terkait, dan tidak memiliki hubungan dengan hal atau orang lain. Berbeda halnya dengan sikap self-sufficient, yang berarti merasa cukup dengan diri sendiri. Sikap ini positif karena didorong oleh sebuah motivasi tidak untuk merepotkan orang lain dan tidak untuk terlalu reaktif dan berlebihan dalam memperturutkan keinginan yang tiada akhir.

Sikap acuh lebih menonjolkan self-ego tanpa landasan kuat untuk dapat terbagi dan dibagi-bagi, oleh karenanya ia hanya akan mengundang bentuk-bentuk penerimaan negatif yang tidak jauh berbeda bentuk dan isinya.

Dalam ukuran cara berpikir rasional, yang terkadang mengedepankan logika berpikir Aristotelesian dengan ciri matematisnya, dapat mereduksi tidak sedikit arti bahkan nilai. Bahkah terkadang, sudut pandanga yang diambil secara 'rasional'' tanpa memperhatikan dan menelaah secara seksama dapat menjerumuskan. Sikap tidak perlu memberikan bantuan terhadap 'perbaikan drainase depan rumah'' misalnya, dengan alasan telah memiliki alokasi budget plan ataupun kegiatan sosial serupa di tempat berbeda, akan meredusir arti dari sikap positif dalam bertegangga dan bermasyarakat dalam suatu lingkup pandang sederhana, yakni hubungan sosial. Tidak untuk mengatakan bahwa harus memulu reaktif, akan tetapi lebih mengeksplorasi 'rasa sebagai bagian dari masyarakat (sense of being social being).

Tidak jauh berbahaya dari sikap acuh, malas (laziness) secara sederhana adalah ekspresi dari tidak adanya tanggung jawab untuk hidup. Sikap malas bahkan secara tegas dapat dikatakan sebagai sikap yang berlawanan dengan hukum alam dimana segala sesuatu selalu melalui dan memiliki proses dan tahapan-tahapan. Pendorong sikap malas seperti trauma, dis-orientasi, ketidaknyamanan, ketidaktertarikan, ketidakmampuan, ataupun alasan lain tidak pernah dapat ditolerir pada sebuah kondisi dimana apapun itu selalu tidak pernah memiliki kata lengkap dan sempurna, selama masih berhubungan dengan material. Apalagi yang besifat non-material. Sikap malas menafikkan adanya fakta kehidupan baik dalam lingkup ruang (space) maupun waktu (time) untuk selalu membutuhkan sikap tanggungjawa dan komitmen. Berjalan ke dapur untuk menyantap makanan lezat malam pun, kita juga harus masih mencuci tangan, memasukkan makanan tersebut sedikit demi sedikit, hingga kemudian muncullha kesan enak, lezat, dan kenyang. Keberlakuan untuk hal sederhana ini, meniscayakan berbagai macam sendi dan bentuk aktifitas dalam kehidupan anak Adam.


'Life is like chocolate. we don't know what's going to happen tomorrow morning' (Forest Gump)
Ketidak tahuan kita bagaimana waktu akan datang menyambut kita kedepan merupakan sebuah fakta empirik sekaligus bukti rasional bahwa banyak hal yang masih terselubung dan belum kita ketahui. Terlebih lagi ketika rasa dalam batin yang mengungkap akan betapa dalamnya alam ini tercipta dan diciptakan, serta betapa dangkal pengetahuan serta ilmu yang kita miliki. Dengan begitu tidak ada alasan yang tersisa untuk bersikap acuh dan malas-malasan untuk menjalani hidup dan membuatnya berarti dan semakin bermakna.


Untuk itu, mari kita belajar.

No comments:

Never Give Up

Terkadang tidak setiap hal dalam hidup yang direncakana berjalan dengan lancar. Mengapa demikian terjadi persisnya? Mungkin hanya Tuhan yan...